MEMBUMIKAN NASIONALISME MENATAP MASA DEPAN TANAH PAPUA

Kamis, 22 September 2011

MEMBUMIKAN NASIONALISME MENATAP MASA DEPAN TANAH PAPUA
2009 September 24
by tabloidforsas
Oleh:
Yoel Rohrohmana*
Seperti di wilayah-wilayah lain di Indonesia, kemeriahan Peringatan HUT Ke-64 Kemerdekaan RI juga dirasakan di bumi Papua. Pulau paling timur ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menapak jejak sejarahnya, tidak kurang tokoh yang gigih memperjuangkan kesejahteraan Papua dalam naungan NKRI. Salah satunya adalah almarhum Izaac Hindom Rohrohmana, tokoh Papua yang telah mewariskan nilai-nilai kepemimpinan, kejuangan, dan pengabdian tanpa pamrih pada masa lalu demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat Papua.
Sejarah mencatat Izaac Hindom, yang menjabat sebagai Gubernur Papua itu, menggagas kebijakan percepatan pembangunan di Papua melalui Program Transmigrasi, serta kebijakan yang berkeberpihakan kepada masyarakat miskin yang terisolasi dan bermukim di kampung-kampung yang jauh dari perkotaan serta pusat pembangunan yang telah maju. Dampak positif dari kebijakan itu hingga kini masih dirasakan masyarakat Papua.
Bergabung dengan NKRI
Seluas 3,5 kali dari total luas Pulau Jawa, hingga kini Papua memang masih bergejolak. Dinamika sosial dan politik mewarnai kehidupan masyarat Papua. Sejarah mencatat Papua bergabung NKRI pada 1 Mei 1963 yang ditandai dengan penyerahan pemerintahan peralihan dari United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA –Otoritas Pemerintahan Peralihan PBB) kepada Pemerintah RI.
Proses bergabungnya Papua ke pangkuan NKRI diwarnai Pertempuran Laut Aru, yang ditandai dengan gugurnya Pahlawan Nasional Yos Sudarso, serta upaya diplomasi yang alot.
Mayor (Inf) Agus Bhakti, Anggota Dewan Penasehat Harian TANDEF, dalam paper-nya menyatakan, semua itu berawal pada 1 Desember 1961 ketika proklamasi kemerdekaan negara Papua Barat yang didukung oleh Pemerintahan Belanda. Proklamasi ini dinilai RI sebagai wujud pengingkaran Belanda atas status Papua. Sebagai reaksinya, maka pada 19 Desember 1961 Presiden Soekarno menyerukan tiga komando (seruan) yang dikenal dengan nama Trikora.
Bunyi Trikora itu adalah: (1) Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda; (2) Kibarkan bendera Merah Putih di seluruh wilayah Papua; dan (3) Persiapan mobilisasi umum untuk mempertahankan Kemerdekaan dan Kesatuan Bangsa.
Pertempuran Laut Aru merupakan pertempuran antara TNI AL yang diperkuat KRI Macan Tutul, KRI Macan Kumbang, dan KRI Harimau. Komodor Yos Sudarso yang berada di KRI Macan Tutul gugur bersama tenggelamnya kapal tersebut.
Sedangkan operasi-operasi lain yang diselenggarakan, di antaranya, operasi oleh Brimob Polri dalam Resimen Tim Pertempuran yang berhasil melakukan operasi raid penghancuran beberapa obyek vital Belanda di Fakfak dan sekitarnya. Lalu ada Operasi Penerjunan Pulau Tenimbuan, Operasi Penerjunan RPKAD di Tanah Miring; serta Operasi Jayawijaya yang terkenal sebagai operasi amfibi terbesar sepanjang sejarah TNI.
Di luar operasi militer, upaya diplomasi juga dilaksanakan untuk merebut kembali Papua berupa pendekatan terhadap negara-negara lain dan PBB guna mendukung integrasi Papua. Sekjen PBB U Thant meresponsnya dengan meminta salah seorang diplomat AS, Ellsworth Bunker, mengajukan usulan yang dikenal dengan Bunker Proposal, yang berisi desakan agar Pemerintah Belanda segera menyerahkan Papua kepada Pemerintah RI.
Melalui proses perjuangan diplomasi yang panjang, kesepakatan RI-Belanda sedikit mencapai titik terang dengan digelarnya Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 di Markas Besar PBB. Isi Perjanjian New York adalah Belanda harus menyerahkan wilayah Papua Barat kepada PBB (UNTEA) yang selanjutnya akan menyerahkan Papua kepada RI dengan syarat Pemerintah RI harus memberikan kesempatan kepada masyarakat Papua untuk mengambil keputusan secara bebas tetap bergabung dengan RI atau memisahkan diri lewat mekanisme penentuan pendapat rakyat (Pepera).
Untuk menyelenggarakannya, Pemerintah RI dibantu PBB dan diberi batas waktu hingga selambat-lambatnya pada akhir 1969. Pada 1 Oktober 1962, Wakil Gubernur H. Veldkamp menyerahkan kekuasaan atas Papua kepada UNTEA. Baru pada 1 Mei 1963 pemerintahan peralihan UNTEA menyerahkan Papua kepada Pemerintah RI.
Proses pelaksanaan Pepera mulai dilaksanakan pada 24 Juli hingga Agustus 1969. Pepera dilaksanakan di delapan kabupaten, yaitu Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak, serta Jayapura oleh 1.026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) mewakili jumlah penduduk Papua yang berjumlah 809.327 jiwa.
DMP tersebut terdiri atas 400 orang yang mewakili unsur tradisional (kepala suku/adat), 360 orang mewakili unsur daerah, serta 266 orang mewakili unsur organisasi politik/organisasi kemasyarakatan.
Petugas PBB yang mewakili Sekjen PBB adalah Dubes Bolivia, Fernando Ortiz Sanz, bersama 16 pengawas PBB lainnya. Hasil dari Pepera yang digelar di delapan kabupaten di Irian Barat (Papua) menyatakan semua memilih dan menetapkan dengan suara bulat bahwa Irian Barat merupakan bagian mutlak dari Republik Indonesia.
Hasil itu pun disepakati dan disetujui dengan membubuhkan tandatangan semua yang hadir dalam rapat Pepera tersebut. Ini menandai bahwa secara de facto masyarakat Papua memilih untuk berintegrasi dengan NKRI.
Melalui Resolusi PBB Nomor 2504 di Sidang Umum PBB pada 19 November 1969 –yang didukung 82 negara yang setuju, 30 negara abstain, serta tidak ada yang tidak setuju– menunjukkan bahwa dunia internasional telah mengakui keabsahan Pepera 1969.
Konflik Datang dan Pergi
Bumi Papua tiada henti diguncang konflik, yang tak jarang pula menumpahkan darah. Suasana Pemilihan Presiden 2009 diwarnai dengan serangan berdarah yang menelan korban jiwa di Timika. Penembakan oleh sekelompok orang yang mengoyak keamanan di tanah Papua itu terjadi bukan hanya saat ini.
Sekelompok orang memanfaatkan kondisi Papua yang belum stabil demi kepentingan pribadi atau kelompok mereka. Tanah Papua yang kaya sumber daya alam merupakan daya tarik yang menggiurkan bagi banyak kepentingan untuk menancapkan kakinya.
Berbagai cara pun digunakan, termasuk dengan memanfaatkan celah sejarah dan mempermasalahkan sejarah proses kembalinya Papua ke dalam wilayah NKRI. Tak mengherankan apabila konflik di Papua masih berkepanjangan.
Kondisi ini diperburuk dengan hadirnya berbagai pihak individu maupun kelompok LSM, baik dari dalam maupun luar negeri, namun dengan berbagai kepentingan yang terang-terangan memosisikan diri sebagai pihak yang berseberangan dengan Pemerintah RI. Mereka mendukung separatis dalam memunculkan isu yang kontraproduktif tentang Papua.
Kearifan Lokal Sering Terabaikan
Bila ditelusuri lebih jauh, sebenarnya akar dari semua konflik yang menodai tanah Papua berawal dari diabaikannya kearifan budaya lokal. Arus pendatang –sebagai penduduk biasa maupun pejabat pemerintah yang datang dari pusat– hadir di Papua dan memaksakan budaya asli dari tempat asal mereka dengan tidak mengindahkan budaya masyarakat lokal yang telah dianut turun-temurun.
Kasus yang sering terjadi adalah pemimpin yang berasal dari luar daerah kurang memahami tradisi lokal dan menerapkan aturan secara kaku. Misalnya, soal kebiasaan warga setempat makan pinang dan meludah di mana-mana yang menyebabkan lingkungan kotor. Pemimpin daerah yang ingin menata lingkungannya serta merta mengeluarkan aturan yang melarang masyarakat makan pinang. Peraturan baru ini, tentu saja, akan memicu gejolak sosial karena menentang kebiasaan yang sudah dilakukan dari generasi ke generasi.
Bila sang pemimpin bijak, maka yang akan dilakukan adalah tidak melarang warga meneruskan tradisinya makan pinang, tetapi menyediakan tempat menampung ludah pinang, sehingga mereka tidak membuangnya di mana-mana. Masyarakat senang karena kebiasaannya tak terganggu, tapi lingkungan kota juga tetap terjaga kebersihannya.
Begitulah seharusnya kearifan budaya lokal disikapi oleh pemimpin yang bijak. Kebiasaan masyarakat yang kurang baik tidak serta merta dihapuskan, melainkan diarahkan menuju kebiasaan yang lebih baik tanpa menghilangkan akar budaya setempat. Pemimpin yang bijak seperti itu tentu akan mendapatkan dukungan masyarakat atas kebijakan yang diambilnya, tanpa memandang dari mana sang pemimpin itu berasal, asli Papua atau bukan.
Otsus dan Implikasinya
Gejolak politik pada awal reformasi menguat hampir di setiap daerah di Indonesia, termasuk di Papua. Hal ini menyebabkan Pemerintah Pusat kurang mampu mengatur dan mengendalikan berbagai tuntutan perubahan, terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan tata pemerintahan.
Khusus di Papua, situasi tersebut menyebabkan perdebatan soal status politik turut menguat yang ditandai dengan peristiwa pengibaran bendera Bintang Kejora, disusul sejumlah praktik penyiksaan hingga muncul konsolidasi besar-besaran di kalangan orang Papua melalui Kongres Papua pada tahun 2000.
Kelahiran Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua Tahun 2001 merupakan kelanjutannya, yang mana draf Otsus terinspirasi oleh hasil Kongres Papua pada tahun 2000 tersebut. Otsus merupakan sebuah aturan atau kebijakan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dalam upaya meningkatkan pembangunan dalam berbagai aspek dengan empat prioritas utama, yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Yusman Conoras dari Pokja Papua menyebutkan, secara filosofis UU Otsus ini dibuat sebagai langkah untuk menyejajarkan Papua dengan wilayah lainnya di Indonesia. UU Otsus ini juga merupakan langkah proteksi bagi hak-hak dasar orang asli Papua, yang sejak berintegrasi dengan NKRI hak-hak dasarnya terabaikan dan termarjinalkan. Singkatnya, UU Otsus itu demi kemakmuran dan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi orang asli Papua.
Namun perjalanan Otsus itu hingga kini belum optimal. Sekelumit permasalahan yang menghinggapi perjalanannya, di antaranya, distribusi kewenangan dan aliran dana yang tidak jelas, inkonsistensi Pemerintah Pusat dan Pemda Papua, hingga konflik kepentingan dan kekuasaan inter-elite lokal di Papua. Akibatnya masyarakat Papua sudah tidak memiliki kepercayaan terhadap kebijakan itu, padahal sejak awal digadang-gadang berbagai pihak sebagai ‘’obat ampuh’’ guna menyelesaikan persoalan yang selama ini terjadi di Tanah Papua.
Kekeliruan pertama yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah ketika tidak mau memahami bahwa lahirnya Otsus itu juga karena persoalan politik. Bagi mereka seolah-olah Otsus itu hanya untuk menjawab persoalan kesejahteraan. Dengan kata lain, pemerintah telah mengabaikan salah satu substansi penting dari sejarah konflik di Papua.
Otsus merupakan komitmen politik akibat pengalaman sejarah yang buruk mengenai status politik, persoalan hukum dan HAM, serta diskiriminasi. Oleh karena itu, dari segi normatif maupun implementasinya harus merefleksikan secara tegas aspek-aspek tersebut. Maka kelirulah anggapan Otsus tersebut diidentikkan dengan banyaknya uang mengalir ke Papua.
Makna Utama Kelahiran Otsus
Perlindungan. Diharapkan ada upaya tegas dalam perlindungan terhadap orang asli Papua dalam berbagai aspek kehidupannya mengingat selama ini proses integrasi dan proses pembangunan yang menyertainya dinilai telah dilakukan sewenang-wenang tanpa mempertimbangkan kepentingan orang Papua, terutama karena alasan keamanan sehingga membuat banyak orang Papua menderita.
Pemberdayaan. Agar tercipta peluang untuk meningkatkan kemampuan serta keterampilan, sehingga orang Papua memiliki daya saing yang tinggi untuk memaksimalkan perannya mengingat sebelumnya berbagai peluang dan kesempatan itu lebih mudah diperoleh oleh orang non-Papua. Untuk menggambarkan kondisi ini bahkan ada anggapan bahwa ‘’Pemerintahan Kolonial Belanda lebih berhasil melakukan pemberdayaan terhadap orang Papua.’’
Dalam implementasinya, Otsus mengalami berbagai hambatan. Hambatan itu adalah Pemerintah Pusat Tidak Menghendaki Adanya Otsus. Kelahiran Otsus merupakan akibat dari tekanan politik yang cukup kuat dari masyarakat dan Pemerintah Pusat kehilangan kontrol, tidak memiliki kekuatan yang signifikan, sehingga ruang negosiasi pun terbuka.
Dalam praktik pelaksanaannya, berbagai kebijakan dan sikap politik yang merupakan isi dari pasal-pasal strategis di dalam Otsus itu tetap diintervensi dan direduksi oleh Pemerintah Pusat, seperti melalui Inpres No.1 Tahun 2003, PP mengenai Percepatan Pembangunan di Indonesia Timur, PP 77 Tahun 2007, dan lain-lain.
Di sisi lain, hingga kini pun masih ada Pemerintah Pusat dan departemen yang tidak memahami dengan jelas Otsus tersebut. Akibatnya masih sangat banyak peraturan yang saling bertolak belakang, terutama peraturan sektoral seperti mengenai kehutanan, pendidikan, partai politik, dan lain-lain.
Hambatan lain adalah Lemahnya Posisi Tawar dan Komunikasi Politik di Antara Unsur Pemda, DPRP, MRP, dan dengan Masyarakat. Belum ada persamaaan persepsi antara DPRP, Gubernur, serta MRP untuk merumuskan langkah konkret yang berkaitan dengan perlindungan, pemberdayaan, serta keberpihakan terhadap orang Papua.
Aparat di Pemerintah Provinsi sebagian besar merupakan orang lama yang sudah terbiasa dengan sistem dan pola pikir yang lama pula, sehingga sulit untuk menyesuaikan dengan tuntutan Otsus. Selain itu, aparat pemerintah daerah juga tidak disiapkan dengan perangkat manajemen dalam melaksanakan Otsus.
Anggota legislatif kurang memahami peran legislasi yang seharusnya dilakukan. Berbagai keputusan DPRP pun tidak dilaksanakan karena sikap DPRP sendiri yang tidak konsisten dan bertanggung jawab. Misalnya, saat DPRP mengeluarkan keputusan yang mengatakan, jika pelaksanaaan pilkada di Irian Jaya Barat tetap dilakukan, maka DPRP akan melaksanakan referendum di Papua, tapi hal itu tidak dilakukan.
Demikian juga dengan anggota MRP. Sebagaimana diketahui, proses seleksi keanggotaan yang sekarang masih merupakan ‘’karya’’ Pemerintah Pusat melalui Direktorat Kesbang.
Di sisi lain, keputusan MRP juga tidak dilaksanakan secara baik oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, seperti Perdasus No.1 Tahun 2007 mengenai Pembagian Dana Otsus atau keputusan MRP soal Pemekaran Provinsi dan lain-lain. Termasuk pula ketika MRP sekarang sedang membahas keputusan MRP mengenai hak-hak dasar orang asli Papua dan kesatuan kultural orang asli Papua.
Semua itu bisa terjadi karena hingga kini draf Perdasus mengenai kedua hal yang ditawarkan MRP dalam bentuk Perdasus tersebut belum dibahas oleh Pemerintah Daerah.
Juga, tidak jalannya mekanisme pengawasan yang benar di antara pelaksana pemerintahan. Meskipun aturan pengawasan sangat konkret dan jelas, namun hampir seluruh instrumen pengawasan di semua tingkatan tidak menjalankan fungsinya.
Otsus lahir tanpa mekanisme pendistribusian dan pertanggungjawaban kewenangan yang jelas. Akibatnya kekeliruan yang telah dibuat bersama berubah menjadi kebiasaan yang sudah saling dimaklumi dan dengan mudah bisa saling menyalahkan. Penyalahgunaan kewenangan dan dana pun terjadi di berbagai tingkatan birokrasi.
Sebagaimana disebutkan, prioritas utama dalam Otsus adalah pendidikan, kesehatan, infrastruktur, serta pemberdayaan ekonomi rakyat yang belum mendapatkan perhatian yang semestinva. Pendidikan masih belum berjalan baik dan lebih terfokus pada penyediaan sarana dan prasarana yang kurang didukung tersedianya tenaga pendidik dan tenaga kesehatan.
Sarana pendidikan tinggi untuk mengakomodir lulusan sekolah serta pola urban yang meningkat tajam di Papua, belum juga mendapatkan perhatian dari Pemerintah Daerah. Sektor-sektor ekonomi penting masih dikuasai dan menjadi aset sebagian besar orang non-Papua. Peraturan Gubernur No 5 dan 6 Tahun 2009 mengenai Pendidikan dan Kesehatan pun baru berjalan dan semestinya harus didukung dengan kesiapan sarana lainnya.
Sikap Masyarakat
Sejak awal masyarakat Papua juga tidak menghendaki adanya Otsus, yang disosialisasikan dari hotel ke hotel oleh tim asistensi yang sebagian besar akademisi. Kampanye yang ditawarkan adalah dengan mengatakan bakal banyak dana turun untuk rakyat sehingga membuat rakyat sejahtera.
Memang, pada praktiknya, dana untuk Papua meningkat tajam setelah ada Otsus. Distribusi dana dilakukan dengan berbagai label program, namun di tingkat implementasi justru menimbulkan masalah baru berupa meluasnya praktik ‘’dana bocor’’ di mana-mana. Program-program yang turun ke kampung selalu dipergunakan dengan pertanggungjawaban keuangan yang tidak memadai.
Tradisi peramu milik orang Papua seperti kembali dihidupkan dengan adanya dana Otsus, kendati situasi dan kondisi zaman telah berubah. Sebagian masyarakat kurang memahami posisinya dalam mengambil peran dan tanggung jawab yang sepantasnya. Akibatnya terjadi perubahan kehidupan sosial yang cukup signifikan, seperti peningkatan angka (sikap) pengangguran dan kriminalitas. Berbagai dana pemberdayaan berubah menciptakan pola hidup konsumtif.
Beberapa pasal dalam Otsus yang memuat kewenangan khusus bagi Pemerintah Daerah tidak dilaksanakan dengan baik. Pasal 28 yang menyatakan penduduk Papua dapat membentuk partai, yang dapat diasumsikan sebagai partai lokal, tidak jelas sinkronisasinya dengan peraturan mengenai partai politik. Peraturan yang mewajibkan partai politik meminta pertimbangan MRP dalam rangka seleksi dan rekruitmen anggota partai politik tidak juga dilakukan.
Lalu dalam Pasal 7 mengenai Tugas dan Kewenangan DPRP : memilih Gubernur dan Wakil Gubernur yang berbeda dengan sistem pilkada di wilayah Indonesia lainnya melalui mekanisme pemilihan langsung.
Sebagian besar isi Otsus itu masih belum konkret dalam memberikan kewenangan bagi Pemerintah Daerah, sehingga justru membuka peluang diintervensi oleh Pemerintah Pusat. Untuk pasal yang bersifat proteksi, seperti perlindungan terhadap pengelolaan sumber daya alam, kependudukan, dan lain-lain, bahkan belum muncul.
Hingga kini belum dihasilkan peraturan pelaksana melalui Perdasus (sebanyak 11) dan Perdasi (17) guna mengimplementasikan secara konkret isi Otsus. Bahkan beberapa draf Perdasus dan Perdasi masih sangat mirip dengan peraturan di tingkat sektoral. Selain itu penyusunannya juga tidak cukup melibatkan berbagai pihak yang berkompeten, seperti kalangan organisasi profesi, LSM, pakar, dan lain-lain.
Belum ada peraturan yang tegas mengenai definisi-definisi khusus di dalam Otsus, yang sebelumnya masih mengalami perdebatan dan persoalan budaya, serta struktural lainnya. Misalnya definisi mengenai Orang Asli Papua, Masyarakat Hukum Adat Papua, dan Partai Politik.
Selain itu, institusionalisasi sejumlah Iembaga, seperti Perwakilan Komnas HAM dan Komda HAM, KKR, dan sebagainya masih mengalami masalah di tingkat kewenangan, peran, status, serta pendanaan.
Terdapat kontradiksi beberapa pasal di dalam Otsus dengan peraturan perundang-undangan Iainnya. Di sisi lain, pasal-pasal dalam Otsus bahkan berimplikasi pada munculnya perbedaan kebijakan, seperti perizinan pengelolaan sumber daya alam, antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten, sehingga justru membingungkan rakyat dan kebijakan tersebut malah memperlebar dan memperbanyak pintu-pintu masuk berbagai proses ekspolitasi.
Papua Kini: Peluang
dan Tantangan
Di tengah belitan masalah, selalu ada peluang yang membawa titik terang. Karut marut implementasi Otsus bukan berarti titik akhir karena sederet perbaikan masih bisa dilakukan untuk menciptakan Tanah Papua lebih baik serta masyarakat Papua yang lebih sejahtera.
Beberapa peluang yang masih dapat dilakukan itu adalah:
Pertama, amandemen/merevisi UU Otsus untuk memberikan kewenangan yang lebih konkret kepada pemerintah lokal dalam regulasi, terutama dalam bentuk Perdasi dan Perdasus. Amandemen ini juga diperlukan untuk memperjelas kewenangan pusat guna menghindari intervensi politis.
Kedua, perlu dilakukan upaya memperjelas pasal-pasal yang mengandung kontradiksi dengan peraturan lainnya dari pusat. Kontradiksi itu, misalnya, UU Sektoral yang berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah, Partai Politik, Pengadilan HAM, Perwakilan Komnas HAM, KKR, dan lain-lain.
Ketiga, harus ada perubahan perilaku dari pemerintah pusat, yaitu memberikan pengakuan dan penghormatan yang konkret terhadap eksistensi orang Papua. Pengakuan ini diwujudkan dengan bukti kemauan politik yang kuat dan jelas dalam menangani masalah di Papua.
Keempat, adanya kepedulian dan keberanian di tingkat pemerintah provinsi untuk mengimplementasikan Otsus di daerah dan memperjuangkan nilai tawar ke tingkat pusat.
Kelima, diperlukan pemimpin daerah yang memiliki wawasan pengetahuan yang luas –dalam lingkup, nasional, dan internasional– serta memiliki keterampilan manajerial yang baik. Pemimpin daerah juga harus mampu mewujudkan pemerintahan yang bersih dengan menjalankan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Pemimpin juga harus memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kepentingan rakyat atau pro-rakyat, sebagaimana yang telah dan akan diwujudkan oleh Presiden SBY.
Meski demikian, bukan berarti tantangan pun sirna. Hambatan selalu ada dari dalam maupun dari luar. Kerja masih panjang. Berikut beberapa rekomendasi yang dihasilkan dari diskusi panel acara ‘’In Memoriam Izaac Hindom Rohrohmana’’, 20 Juni 2009, yang dihadiri sejumlah mantan pejabat dan pemerhati masalah Papua yang berasal dari daerah lain di Indonesia:
Pertama, Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat, lembaga legislatif, dan MRP hendaknya terus meningkatkan koordinasi dan kerja sama institusional yang lebih intensif dalam mempercepat proses pembuatan Perdasi dan Perdasus, serta menjamin bahwa dana Otsus yang begitu besar bisa digunakan secara bertanggung jawab bagi kepentingan rakyat.
Kedua, kepada Pemerintah Pusat dan institusi penegak hukum diminta untuk secara konsekuen mengambil tindakan tegas terhadap oknum pejabat dan mantan pejabat eksekutif dan legislatif di Tanah Papua yang diduga menyalahgunakan kesempatan dan jabatan sehingga merugikan negara dan kepentingan rakyat.
Ketiga, Pemerintah Pusat agar membuka diri bagi proses dialog terbuka dengan wakil-wakil masyarakat Papua untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dan kendala, baik yang bersifat politis maupun budaya, sehingga tidak terjadi lagi hambatan komunikasi dan berkurangnya kepercayaan orang Papua terhadap Jakarta.
Keempat, pihak keamanan diminta lebih peka terhadap isu-isu yang terkait dengan stigma separatisme, serta lebih bijaksana dalam menyelidiki akar permasalahan yang menyebabkan sebagian warga masyarakat Papua memilih jalan yang dinilai melawan hukum, tetapi sesungguhnya itu merupakan cara yang terpaksa ditempuh guna meminta perhatian dari pemerintah.
Kelima, rakyat Papua menghargai perhatian yang selama ini diberikan Pemerintah Pusat dengan memberikan kepercayaan kepada beberapa putra terbaik dari Papua menduduki jabatan eksekutif dan legislatif di tingkat nasional serta jabatan duta besar. Oleh karena itu pula, diharapkan adanya perhatian yang sama dari Presiden Terpilih pada Pilpres 2009 untuk menjawab aspirasi dan harapan masyarakat di Tanah Papua. (*)
Yoel Rohrohmana, Redaktur Senior Tabloid FORSAS, putra asli Papua.
Sumber : Refleksi Edisi 5 / September 2009

0 komentar:

Posting Komentar