PERAN PEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL

Kamis, 22 September 2011

PERAN PEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
Oleh : Sarinah Faradila Puspita Ramadhani

Baik rangkaian pelanggaran HAM yang dialami pada kerusuhan Mei 1998,  konflik di Aceh, Papua, Timor Timur, Maluku, Poso, dan tempat-tempat tinggal komunitas Ahmadiyah, mereka yang menjadi korban trafficking, penyiksaan tenaga kerja di luar negeri, korban Kekerasan Rumah Tangga, atau kasus pelecehan-pelecehan yang semakin marak menimpa kaum wanita hari ini menjadi pandangan pertama saya. Fakta kekerasan menurut Komnas perempuan Indonesia sudah hampir mencakup 45 tahun dari 64 tahun perjalanan bangsa kita.
Begitupun tentang pemikiran-pemikiran klasik yang diawetkan berabad-abad tahun sebagai kajian tekstual yang kini semakin digandrungi oleh sebagian besar bangsa kita yang mayoritas berpendidikan rendah, entah itu dikemas dalam wadah agama, social budaya, politik, ekonomi atau bahkan memasuki ranah ideologis malah seolah-olah membuat sekat-sekat tinggi yang membedakan atas dan bawah dari golongan keseksan ini.
Menjadi ‘pemuas’ belaka, menjadi manusia ‘terjajah’, menjadi kaum ‘nerimo’, menjadi kaum ‘takut’, menjadi kaum ‘lemah’, kaum ‘bodoh’, itulah jawaban mentah saya. Pertanyaannya, apakah memang kodrat bahwa wanita memang hanya berada diantara dapur, kasur dan sumur seolah-olah menjadi mutiara yang harus disembunyikan dari peradaban, meskipun memang harus menggadaikan kemerdekaan kemanusiaan? Apa iya seorang wanita hanya memiliki porsi-porsi terbatas dalam kemasyarakatannya?
Apa yang dipandang berbeda?
Ini bukan masalah kualitas. Memang, laki-laki lebih memiliki ‘sesuatu’yang dominan dibanding wanita. Tapi sesuatu itu bukanlah menjadi alat untuk memperkuat dirinya dan melemahkan golongan yang lainnya. Kita berkaca pada Aisyah ra, istri Rasululullah SAW yang pernah mengomandoi peperangan, Ratu Balqis, Raja Puteri Jinzo yang pernah menaklukkan Korea pada abad ketiga atau RA. Kartini, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika dan beberapa tokoh wanita lainnya yang langsung berdiri di tengah lapangan sosial, apakah mereka itu rendah kualitasnya?
Agama tidak benar-benar menjunjung patriarki atau mengecam keras matrilinear. Tapi malah sebagai ‘pengatur’ dan ‘pengoreksi’ eksistensi kaum patrarki agar bertindak adil, tidak berlaku dzalim. Sebagaimana yang ditegaskan pada Surat Adz Dzariat ayat 49; “ dan Dia yang menjadikan segala hal berpasang-pasangan dan membuat bagimu perahu-perahu dan ternak yang kamu tunggangi”. Bukan sebagaimana ditafsirkan oleh teori-teori klasik tersebut dengan timbunan-timbunan tradisi dan adat-istiadat – atau hukum masyarakat – yang diiyakan oleh kaum yang tidak mau berfikir.
Akhirnya saya berfikir bahwa dominasi perbedaan ini sebenarnya hanya pada kodrat alam. Alam memberi fungsi laki-laki memberi dzat anak sedangkan perempuan memberi dzat menerima dzat anak, mengandung, melahirkan, menyusui dan memeliharanya. Akhirnya wanita dibekali emosional yang lebih goyang daripada lelaki sedangkan laki-laki dibekali ketajaman kognitif. ini hanya tentang pembagian tugas rumah tangga, bukan tugas pendiskriditan dalam dunia sosialnya.
Ada tiga tingkatan yang saya prediksikan sebagai langkah tepat bagi seorang wanita untuk menghilangkan kesenjangan ini. Pertama, melakukan gelombang kesadaran untuk menyempurnakan diri yang dipertuan oleh Yang Maha Kuasa. Menyempurnakan kecantikan, kecakapan, kepandaian agar berada dalam kedudukan yang lebih berharga dan menenangkan. Bukan untuk mengiyakan bahwa ikhtiar seorang wanita adalah untuk memikat laki-laki saja.
Kedua, membantah kelebihan hak kaum laki-laki. Bukan berarti untuk ingin membalas agar berada diatasnya, melainkan menuntut dengan sadar tentang persamaan hak, persamaan derajat. Sadar, bahwa hampir disegala bidang kaum wanita tidak dikasih jalan oleh kaum lelaki. Inilah yang saya telaah sebagai langkah merubah persepsi ideologis masyarakat, wanita lemah bukan karena ketidakmampuannya, tapi karena tidak mau untuk melawan. Dan yang terakhir, melakukan pergerakan sosialisme, dimana sama-sama berjuang dengan kaum lelaki untuk bahu membahu mewujudkan kesejahteraan.
Tidak ada yang beralasan mencegah satu teori yang baik ketika kemanusiaan sudah tergadaikan. Siapa yang dapat menolong anda jika anda sendiri tidak mau memecahkannya? Tidak berusaha, tidak bertindak, tidak beraksi. Sementara kedzaliman nyatanya menyeruak.
Perbedaan adalah keniscayaan, namun bukan pemisah yang membedakan berkuasa atau lemah, atas atau bawah melainkan sesuatu yang sama  sejajar, bersebelahan satu sama lain, saling melengkapi, saling menguatkan. Begitupun sebagaimana istilah Baba O’Illah bahwa antara laki-laki dan perempuan seperti burung, jika sayap yang satu lemah, maka jangan harap untuk bisa terbang dengan baik. Laki-laki tanpa perempuan adalah gila, perempuan tanpa laki-laki adalah dusta.

0 komentar:

Posting Komentar