Degradasi Persma

Kamis, 22 September 2011

DEGRADASI PERSMA
Oleh : Bung Habibi MF*

Kecil tapi berdampak besar, tak jarang orang menangis, bahagia, simpati bahkan jengkel akibat ulahnya, ya itulah pers yang pada waktu tertentu bisa menjadi kekuatan besar, maka tak heran jika Napolion Bonaparte, pernah berkata " saya lebih suka menghadapi 40.000 bayonet, dari pada membiarkan 4 surat kabar beredar luas di Paris. Dengan kekuatannya itu pers dapat menyetir opini public terhadap suatu isu yang berkembang.
Pers juga tak ubahnya seperti cahaya yang berdampak luas, banyak kejadian yang menggambarkan betapa pers sangat berpengaruh atau berdampak positif, salah satu contohnya pemberitaan terhadap infantry amerika srikat dengan sekutunya ke irak dan serangan israrel ke gaza yang mendapat simpati, baik dari kalangan agama atau dari berbagai bangsa. Dan tak kalah serunya kisah prita mulya sari, setelah disorot media massa banyak orang berlomba-lomba menolongnya, baik yang bersifat moril yang berupa dukungan lewat facebook atau yang bersifat  materil yang berupa koin peduli prita. Dan pers juga dapat menjadi tonggak tegaknya keadilan, tak sedikit mereka yang ber-uang bisa bebas dari meja hijau akibat tak terjamah oleh pers.
Jika kita flash back ke zaman Rasululloh, dimana pada saat itu umat islam untuk menangkis serangan dan mengontrol orang-orang non islam, umat islam mempunyai media, atau lebih tepatnya pada waktu itu orang-orang arab mempunyai tradisi syair yang menjadi media paling kuat untuk mempengaruhi opini masyarakat.
Sajak atau syair merupakan propaganda dan media massa pada waktu itu. Di antara sahabat yang memiliki posisi strategis  dalam dunia opini yaitu, Amir bin Al-Akwa' dan Hasan bin Tsabit, mereka tidak jauh beda dengan posisi yang dimiliki insane pres pada saat ini.
Dengan peran yang begitu berdampak dan berpengaruh itu, pers patut di perhitungkan.
Namun walaupun demikian, perjalanan media massa tidak semudah yang kita fikirkan, mungkin kita masih ingat apa yang terjadi pada tanggal 15 bulan januari tahun 1974 tentang pembredelan 12 surat kabar dan majalah dalam waktu yang sangat singkat, karena telah dianggap merugikan penguasa. Ini merupakan suatu angka yang tidak sedikit, sehingga menjadi pukulan yang amat menyakitkan bagi insan pers Indonesia.
Bicara mengenai perjalanan pers yang penuh dengan belokan-belokan tajam, persma (pers mahasiswa) juga tidak kalah rumitnya dengan perjalanan pers umum, jika pers umum hambatannya adalah penguasa Negara, maka persma hambatannya adalah penguasa Negara dan petinggi kampus, salah satu contohnya adalah ketika salah satu LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) yang sempat diberedel oleh pemerintah ketika menyoroti tentang radikalisme politik Indonesia. Dan juga sempat mau diberedel oleh petinggi kampus ketika membritakan tentang profesionalisme dosen.
Upaya persma sebagai controlling agent dan changing agent melealui pemberitaannya untuk membangun lingkungan yang demokratis dan transparan sangatlah sulit, ketika pengawasan dianggap penghinaan dan penyelewengan sering tertata rapi, lebih-lebih ditempat dimana kebenaran dan kejujuran kerap dikhiyanati bahkan dikucilkan.
Pers (persma) yang bersifat aktif, dinamis, kreatif, edukatif, informatif dan mempunyai fungsi kemasyarakatan, pendorong dan pemupuk daya fikir kritis dan progresif, melalui segala perwujudan kehidupan dan penghidupan masyarakat Indonesia (Pasal 2 ayat 1 dari bab II tentang fungsi, kewajiban dan hak pers) sudah dianggap musuh oleh penguasa baik di intra maupun di ekstra kampus dan keberadaanya dianggap hanya menjadi boomerang atau krikil tajam yang harus dibersihkan, akibatnya banyak persma yang istrahat dari aktifitas kritisnya, disamping itu persma juga lemah dalam pembiayaannya dan juga menghambat pada nilai mereka di kelas. Tetapi tidak semua persma yang larut dalam ancaman tersebut, ada juga persma yang masih eksis memainkan peran strategisnya dalam konstelasi demokratisasi di kampus maupun di Negara.
Sebagian persma juga belum bisa keluar dari inters group, sekat-sekat ideologis dan interdepedensi dengan atasan yang ada di kampus, jadi persma bukan lagi memberikan pemberitaan yang kritis, akademis dan konstruktif melainkan hanya untuk melaksanakan jadwal penerbitan yang ditentukan oleh birokratis unit kegiatan mahasiswa (UKM). muatan dalam sebuah tulisannyapun bukan dari kesadaran atau kebutuhan menyalurkan idealisme dan jurnalisme advokatif tetapi lebih pada legitimasi dari UKM agar tidak stagnan. Sebagian persma sekarang sudah mirip buletin birokrat kampus yang hanya memberitakan kelebihan-kelebihan kampus yang kering fakta empirisnya.

Habibi MF, Redaktur Majalah Arrisalah, dan aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia sebagai sekretaris GmnI Komisariat IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Sumber : Majalah Arrisalah Edisi 51 / September 2010

0 komentar:

Posting Komentar